(Homili Kamis Putih – 9 April 20200, oleh Mgr. Robertus Rubiyatmoko)

Saudara-saudari, tahu tidak bahwa sejak tgl 21 Maret yang lalu, saya itu terheran-heran dan bertanya-tanya “mengapa Anda semua begitu tekun dan setia mengikuti perayaan Ekaristi, meskipun hanya secara online, entah dengan menggunakan HP, laptop, layar TV atau bahkan radio”. Apa ta yang membuat Anda bersemangat seperti itu?

Pasti ada alasan/motivasi yang sangat mendasar dan mendalam: karena kerinduan yang mendalam untuk berjumpa dengan Tuhan; untuk mengalami kehadiranNya; dan untuk menerima limpahan berkat kasihNya yang terwujud dalam Ekaristi. Persis inilah yang banyak diungkapkan oleh umat dalam sharing-sharingnya kepada saya:

Saudara-saudari, dari ungkapan2 tadi, menjadi nyata bahwa Ekaristi menjadi perayaan dimana kita bertemu dengan Tuhan dan menerima berkatNya yang menyelamatkan.

Ekaristi menjadi sarana nyata dan kelihatan bagaimana Yesus terus berkarya menyelamatkan kita, yakni dengan menyerahkan tubuhNya dan darahNya untuk disantap dan menjadi sumber kehidupan.

Pertanyaannya: sejak kapan Ekaristi diadakan? Sejak perjamuan malam terakhir, yakni ketika Yesus mengadakan perayaan paskah bersama murid-muridNya, sebagaimana kita dengar kisahnya dari bacaan-bacaan. Perayaan paskah yang semestinya dilaksanakan dengan menyembelih anak domba, oleh Yesus diubah dan dimaknai secara baru: bukan anak domba biasa yang disembelih dan dikorbankan, tetapi diriNya sendiri yang diserahkan sebagai korban penyelamatan.

Dengan berkata “Inilah TubuhKu yang diserahkan bagimu. Inilah DarahKu yang ditumpahkan bagimu”, Yesus menjadikan diriNya korban paskah itu sendiri. Yesus menjadikan diriNya tebusan bagi dosa manusia. Dialah penyelamat yang senantiasa kita nanti-nantikan. Itulah sebabnya selalu ada kerinduan dalam diri kita untuk menyambut Yesus dalam rupa roti ekaristis.

Bahkan seorang anak kecil, kelas TK A – Ave namanya, ketika mengikuti misa online melihat saya dan romo sambut komuni nyeletuk polos kepada bapaknya:

Pah, itu Bapak Uskup dan Romo kok boleh menerima komuni; mama papa khan tidak? Mbok suruh anter pakai gojek biar papa mama terima komuni”.

Sebuah ungkapan polos seorang anak mewakili kerinduan kedua orangtuanya.

Di masa merebaknya wabah virus corona ini, dimana kita hanya bisa mengikuti Ekaristi secara online dan menyambut Komuni secara batin, kerinduan untuk menyambut Yesus dalam sakramen mahakudus ini semakin terasa sekali. Ada yang kurang. Sekarang kita baru merasakan sungguh-sungguh makna penting Ekaristi bagi kita orang beriman. Hari-hari sebelum ada wabah corona, kita biasa-biasa saja, bahkan ogah-ogahan untuk mengikuti Ekaristi. Betul tidak?

Ekaristi menjadi wujud kasih dan pemberian diri Yesus secara terus-menerus pada kita. Hal ini sudah disampaikanNya pada saat perjamuan malam terakhir, ketika Ia berkata: “Inilah Tubuh-Ku yang diserahkan bagimu. Inilah Darah-Ku yang ditumpahkan bagimu”.

Namun ketika para murid tidak memahaminya, maka Yesus pun mencoba memperjelasnya melalui sebuah peragaan: membasuh kaki murid-muridNya. Namun simbolisasi inipun juga tidak dimengerti dengan baik oleh para murid. Akibatnya, Petrus menolak dibasuh kakinya oleh Yesus.

Para murid akhirnya menjadi paham setelah nantinya menyaksikan sendiri bagaimana akhir hidup Yesus. Kesengsaraan dan wafatNya di kayu salib membuat para murid memahami makna ungkapan “Inilah TubuhKu yang diserahkan bagimu. Inilah DarahKu yang ditumpahkan bagimu”. Juga memahami makna pembasuhan kaki. Semuanya mau mengungkapkan bahwa kematian Yesus di kayu salib benar-benar merupakan wujud kasihNya yang total kepada kitaa.

Yesus telah memberikan teladan kasih dan pengorbanan demi keselamatan kita. Maka kita pun diundang untuk meneladan kasih Yesus dengan saling melayani dan berani berkorban demi kebahagiaan/kesejahteraan orang lain:

https://youtu.be/SgVU8G7fZKs